BATUBARA (mimbarsumut.com) – dr. Deni Syahputra, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batubara, memilih bungkam ketika dikonfirmasi terkait desakan Presidium Masyarakat Anti Korupsi (MARAK), Arief Tampubolon, yang meminta agar dirinya diperiksa dan diterbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) baru dalam kasus dugaan korupsi dana Bantuan Tak Terduga (BTT) COVID-19) Pemerintah Kabupaten Batubara.
Sebelumnya, dikutip dari Medan Pos, Arief Tampubolon dalam keterangannya di Pengadilan Tipikor Medan, Rabu (5/11/2025), mendesak Majelis Hakim untuk memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Batubara membuka penyidikan baru terhadap dr. Deni. Arief menilai, dr. Deni memiliki peran sentral dalam proses pengadaan barang dan jasa BTT COVID-19 yang kini menyeret eks Kepala Dinas Kesehatan, drg. Wahid Khusyairi.
“Semua pengadaan barang dan jasa bermuara ke dr. Deni. Dari dia baru ke dr. Wahid. Jadi wajar hakim memerintahkan jaksa mengeluarkan sprindik baru,” ujar Arief di hadapan wartawan usai sidang.
Menurut Arief, justru dr. Wahid tidak berhubungan langsung dengan para rekanan dalam kasus tersebut. Jika memang ada aliran dana dari proyek, katanya, maka dana itu lebih dahulu melalui dr. Deni sebelum diteruskan ke dr. Wahid.
Dalam sidang sebelumnya, dr. Deni tampak gugup saat memberikan keterangan sebagai saksi di Pengadilan Tipikor Medan. Ia berulang kali mengaku tidak mengetahui detail pelaksanaan proyek dan melempar tanggung jawab kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Faisal Sitorus.
Pernyataan tersebut memicu tanggapan dari Ketua Majelis Hakim, M. Nazir, yang menilai seharusnya dr. Deni memahami sepenuhnya aliran dana sebesar Rp5,1 miliar karena saat itu ia juga menjabat sebagai Sekretaris Dinas Kesehatan Batubara sekaligus Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).
Hakim juga menyinggung pemberian dana Rp100 juta kepada Polres Batubara yang diakui berasal dari dana BTT. Ketika ditanya siapa yang memerintahkan pemberian uang tersebut, dr. Deni tampak kebingungan dan menjawab singkat, “Saya lupa, Pak Hakim.”
Atas pemberitaan dan desakan agar dirinya diperiksa lebih lanjut, redaksi Mimbarsumut.com telah mencoba mengonfirmasi langsung kepada dr. Deni Syahputra pada Jumat (7/11/2025). Namun hingga berita ini diterbitkan, dr. Deni tidak memberikan jawaban maupun tanggapan terkait pernyataan Presidium MARAK tersebut.
Praktisi Hukum Nilai Sikap Bungkam Deni Kontraproduktif
Menanggapi sikap diam dr. Deni, praktisi hukum Ikhsan Mahtondang, S.H., menilai bahwa pejabat publik semestinya terbuka dan responsif ketika dikonfirmasi terkait isu hukum yang menyangkut jabatannya, apalagi berkaitan dengan dana publik.
“Sikap bungkam justru menimbulkan persepsi negatif di masyarakat. Publik bisa menilai bahwa yang bersangkutan sedang berusaha menghindar dari tanggung jawab moral. Padahal, jika memang tidak terlibat, seharusnya bisa memberikan klarifikasi yang menenangkan,” ujar Ikhsan Sabtu (8/11/2025).
Ikhsan juga menegaskan bahwa pejabat publik memiliki kewajiban moral untuk transparan.
“Dalam konteks hukum, diam memang bukan bukti bersalah, tetapi dalam konteks etika publik, sikap itu tidak bijak. Seharusnya dr. Deni berani menjelaskan posisinya agar tidak menimbulkan spekulasi di tengah masyarakat,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ikhsan menilai desakan MARAK untuk membuka penyidikan baru merupakan bagian dari upaya penegakan hukum yang wajar.
“Kalau di persidangan sudah muncul fakta yang mengarah pada peran pihak lain, jaksa harus menindaklanjuti. Penegakan hukum harus menyeluruh dan tidak boleh tebang pilih,” tegasnya.
Kasus dugaan korupsi Bantuan Tak Terduga (BTT) COVID-19 ini masih disidangkan di Pengadilan Tipikor Medan. Dalam perkara itu, eks Kepala Dinas Kesehatan drg. Wahid Khusyairi didakwa melakukan penyimpangan penggunaan dana BTT tahun 2022 yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp1,1 miliar.
Kasus ini mendapat perhatian luas lantaran dana tersebut seharusnya digunakan untuk mendukung program percepatan vaksinasi COVID-19 dan peningkatan layanan kesehatan masyarakat di Kabupaten Batubara.
Laporan : dewo











