Ahli Biologi : Indonesia Bisa Bebas dari COVID-19 Tanpa Vaksin

JAKARTA (MS) ‐ Ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo meyakini Indonesia bisa bebas dari pandemi virus corona COVID-19 tanpa harus menunggu keberadaan vaksin maupun obat. Ia mengatakan ini karena keberadaan vaksin dan obat yang masih memakan waktu lama.

Kunci pemutusan mata rantai pandemi COVID-19 berada di kombinasi 3T (testing, tracing, dan treatment) serta 3M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan).

Kunci ini juga harus didukung dengan kebijakan lockdown atau Pembatasan Sektor Berskala Besar (PSBB) yang harus dituruti oleh masyarakat menghentikan mobilitas yang menjadi faktor penyebaran Covid-19.

“Kombinasi 3T, 3M dan dalam tanda kutip lockdown. Karena uji klinis vaksin belum tentu berhasil, jadi perlu langkah antisipatif,” ujar Ahmad saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (13/9).

Ahmad mengatakan pandemi SARS dan MERS yang diakibatkan dengan virus corona yang mirip dengan virus SARS-CoV-2 dapat dituntaskan tanpa adanya vaksin dan obat. Kedua pandemi itu berakhir sebelum uji klinis selesai.

Namun patut diingat bahwa penyakit SARS dan MERS ini cukup mudah untuk diidentifikasi karena menimbulkan gejala bagi orang yang terinfeksi.

Sehingga pihak berwenang bisa dengan mudah melakukan isolasi para penderita ini. Di sisi lain, banyak pasien COVID-19 yang sama sekali tak menimbulkan gejala.

“Intinya pengendalian wabah SARS dan MERS mudah karena cukup fokus pada yang bergejala,” kata Ahmad.

Ahmad menjelaskan mengapa pasien SARS dan MERS bisa menimbulkan gejala sementara pasien COVID-19 banyak yang tak menimbulkan gejala.

Dalam hal ini, Ahmad menyinggung soal viral tropism. Viral tropism adalah kemampuan virus untuk secara produktif menginfeksi sel dan jaringan, atau spesies inang tertentu.

Ahmad mengibaratkan viral tropism sebagai tempat yang virus sukai untuk menempel dan berkembang biak.

Virus SARS-CoV-1 penyebab SARS dan virus MERS-CoV penyebab MERS lebih menyukai untuk menginfeksi saluran napas bawah seperti trakea, bronkus dan paru-paru. Hal ini membuat gejala langsung terlihat karena menyebabkan gejala seperti sesak nafas.

“SARS dan MERS itu virusnya lebih suka menyerang rongga pernapasan bawah. Bisa masuk dari rongga pernapasan atas tapi viral tropism-nya di rongga bawah. Sehingga menimbulkan gejala dan mudah dikenali,” ujar Ahmad.

Sedangkan virus SARS-CoV-2 lebih menyukai untuk menginfeksi saluran napas atas, seperti rongga hidung, faring, dan laring sebagai tempat untuk bereplikasi. Hal ini mengakibatkan orang yang terinfeksi tak menyebabkan gejala.

Sekalipun ada gejala, Ahmad mengatakan banyak orang yang tak menyadari karena hanya sekedar gejala flu seperti sedikit pilek dan bersin.

“Infeksi rongga nafas atas tidak bikin sesak nafas. Dampaknya karena bereplikasi di rongga atas adalah gejala yang nampak tak begitu berat. Bahkan 80 persen orang tidak ada gejala atau sangat ringan, namun begitu sampai di paru, baru dia mulai nampak gejalanya,” kata Ahmad.

Peran Penting Tes Swab PCR
Oleh karena itu, Ahmad mengatakan pentingnya tes PCR untuk mendeteksi kasus COVID-19 yang tak menunjukkan gejala. Sebab orang-orang yang tak menimbulkan gejala ini juga sudah bisa menginfeksi orang-orang di sekitar.

“Begitu mulai berkoloni di saluran pernapasan atas, sementara inangnya sudah berangkulan, berbicara bahkan berteriak tanpa menggunakan masker dan jaga jarak maka virus yang sudah bereplikasi akhirnya terbuang di jalur droplet. Itu semua membuat penyebaran sebelum gejala nampak,” kata Ahmad.

Ahmad mengatakan tes PCR lebih akurat daripada rapid test yang mendeteksi antibodi. Sebab antibodi terkadang belum muncul di awal-awal seseorang terjangkit COVID-19, sehingga terjadi false negative (hasil negatif padahal sebetulnya pasien terinfeksi).

“Kalau rapid test bukan lihat virus langsung tapi melihat antibodi terhadap virus. Dan antibodi terbentuk seminggu hingga dua minggu setelah gejala,” ujar Ahmad.

Jadi apabila antibodi belum terbentuk ketika orang terjangkit COVID-19, hasil rapid test akan mengeluarkan hasil negatif. Ahmad menegaskan apabila pemerintah tak kunjung melakukan PCR, maka pemerintah terkesan membiarkan orang yang terjangkit COVID-19 tak bergejala untuk bisa menularkan ke yang lain.

“Kalau kita bicara SARS-CoV-2, jumlah partikel virus ini menumpuk sebelum gejala. Jadi kalau kita pakai rapid tes antibodi itu kita sudah terlambat. Karena untuk memutus rantai transmisi, mengenali secepat mungkin yang membawa virus ini,” tutur Ahmad.

Selain testing, tracing dan treatment juga perlu dilakukan. Ahmad menyarankan 30 pelacakan kontak untuk setiap 1 pasien COVID-19.

Bentuk keseriusan penelusuran kontak telah dilakukan Vietnam. Kala itu , pemerintah langsung melakukan penelusuran kontak ke 25 orang setelah melaporkan satu kasus COVID-19 yang baru pulang dari Wuhan, China.

Pelacakan kontak dilakukan untuk mengetahui apakah ada orang lain yang terjangkit setelah melakukan kontak dengan orang yang telah terjangkit. Setelah itu perlu dilakukan treatment bagi para orang yang terjangkit.

“Maka perlu keseriusan untuk kenali individu yang terinfeksi. dan diikuti dengan tracing, Artinya setiap 1 positif, minimal 30 penelusuran kontak,” kata Ahmad.

Sebelumnya, Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono mengatakan kesehatan publik melalui pengawasan atau surveilans penting untuk diperhatikan pemerintah.

Pandu menjelaskan seharusnya pemerintah juga terus mendorong kesehatan publik ini daripada hanya fokus ke ketersediaan obat dan vaksin yang belum tentu manjur.

“Enggak usah urusin vaksin atau obat, obat vaksin lupakan. Kesehatan publik saja lewat surveilans,” tutup Pandu.

Menurut Pandu, kesehatan publik menjadi indikator penting terkait kecepatan respons suatu negara menghadapi pandemi Covid-19.

Dijelaskan Pandu, kesehatan publik dapat dicapai dengan langkah pengawasan atau surveilans dengan menggunakan testing, tracing dan isolasi. Namun menurutnya masalah surveilans masih menjadi momok di Indonesia.

“Untuk menghadapi respons menular yang paling cepat di Kementerian Kesehatan adalah surveilans, testing lacak isolasi. Surveilans ini yang jadi masalah padahal testing penting untuk identifikasi orang yang membawa virus,” kata Pandu.

Pandu mengatakan beberapa negara seperti Selandia baru, Australia, Thailand, hingga Singapura telah melakukan proses surveilans dengan masif dan baik. Dengan menggunakan surveilans yang baik, pemerintah bisa mencegah atau menekan penularan COVID-19.

Di satu sisi, Pandu mengatakan pentingnya 3M (memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) di masa Pembatasan Sektor Berskala Besar (PSBB) transisi.(CNN Indonesia).

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed