Alasan Orang Nekat Merokok Meski Bahaya Dan Harga Cukai Naik

Kesehatan, NASIONAL, RAGAMDibaca 877 Kali

JAKARTA (MS)‐Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 12,5 persen pada Kamis (10/12).

Keputusan ini diambil dengan memperhatikan keberlangsungan tenaga kerja di industri terkait petani tembakau maupun industri itu sendiri.

Kenaikan cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) tentu akan berimbas pada harga jual rokok.

Namun terkait dengan kebiasaan merokok, apakah harga naik bakal membuat perokok berhenti membeli rokok?

Banyak upaya untuk mengendalikan konsumsi rokok, mulai dari peringatan di bungkus berupa tulisan soal bahaya merokok untuk kesehatan. Lalu, gambar-gambar mengerikan yang menunjukkan penyakit akibat rokok.

Namun, upaya itu tampaknya tak terlalu berpengaruh bagi perokok. Banyak perokok yang tetap nekat melanjutkan kebiasaan mereka.

Melihat kondisi itu, psikolog Mira Amir memberikan pandangannya soal alasan yang membuat orang merokok tetap nekat meski ada peringatan bahaya dan kenaikkan harga.

“Ada penelitian menemukan, sesuatu yang buruk itu last longer, lebih lama bertahan, lebih cepat diadopsi. Ini cara kerja otak,” ujar Mira saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (11/12).

Mira lanjut mengatakan, “Sebaliknya, sesuatu yang positif itu lama banget menempelnya. Kebiasaan baik, misal, pakai masker, lama ‘menempelnya.’ Begitu nempel, cepat hilangnya.”

Ada banyak faktor yang membuat kebiasaan buruk, termasuk merokok, awet dilakukan. Menurut Mira, salah satunya adalah faktor individu yang tidak cukup kuat secara mental juga faktor lingkungan.

Faktor individu, misal, bungkus rokok memang menyematkan gambar paru-paru busuk. Namun kebiasaan merokok tetap berlanjut karena merasa penyakit itu tidak terjadi pada dirinya.

Kemudian faktor lingkungan, kadang orang merokok karena berada di lingkungan yang memang merokok.

Mira berkata kadang orang yang sudah tidak merokok pun bisa kembali merokok lagi karena pergaulan walau batang rokok yang terbakar tidak sebanyak dulu.

“Saya menemukan begini, manusia kan perlu kebermaknaan dalam tiap momen, kita akan mengendap, jadi melakukan sesuatu itu enggak sambil lalu, mindful,” katanya.

Mira menerjemahkan kebermaknaan sebagai mindfulness, kesadaran juga kondisi sadar sepenuhnya dalam satu momen. Merokok jadi sarana orang untuk tetap ‘menapak’ atau ‘berpijak’.

Di sisi lain, ada pula yang menjadikan rokok sebagai alat bantu sehingga lebih santai, khususnya dalam satu obrolan agar bisa lebih lepas dan terbuka.

“Tidak semua orang bisa mengacu ke kondisi demikian. Jadi ketika kita memutuskan untuk berhenti merokok, kebermaknaan saya di apa selain merokok ? ,” tambahnya.

Faktor psikologis dan kandungan zat-zat kimia rokok memainkan peran dalam kebiasaan merokok. Namun bukan berarti kebiasaan buruk ini tidak bisa dihentikan.

Anda perlu mengetahui prioritas atau alasan berhenti merokok. Mira mengatakan mereka yang berhasil berhenti merokok berarti bisa meletakkan prioritasnya misal faktor ekonomi atau kesehatan.

Faktor ekonomi contohnya, dompet mulai terganggu sementara kebutuhan banyak. Ini banyak terjadi pada mereka yang sudah berumah tangga.

Kemudian saat kesehatan terganggu seperti sesak napas bahkan serangan jantung, tentu kondisi ini tidak sebanding dengan nikmat yang diberikan rokok.

“Yang menjadikan rokok alat bantu untuk rileks, maka perlu mandiri tanpa alat bantu. Saya saat praktik terapi banyak menemukan mereka yang terhambat untuk bisa menemukan kondisi nyaman, rileks, tidak terikat dengan hal memberatkan,” ujarnya.

“Jadi saat konsultasi, pasti ditanya hambatannya apa sih? Oke, alasannya ini, tapi kalau digali akan ada hal-hal lain.” (CNN Indonesia).

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed