JAKARTA (MS) ‐ Demensia atau yang yang lebih dikenal dengan penyakit ‘pikun’ kerap dianggap remeh karena mayoritas hanya diidap oleh mereka yang berusia di atas 65 tahun.
Tren pengidap penyakit demensia kian menanjak di Indonesia, khususnya di Yogyakarta.
Lantas apa sebetulnya demensia, seperti apa gejalanya dan bagaimana cara penanganannya?
Trainer Dementia Care & Dosen UGM Azam David Saifullah menyatakan demensia merupakan sekumpulan gejala yang disebabkan oleh penyakit-penyakit tertentu yang menimbulkan penurunan fungsi otak secara bertahap.
Artinya, seseorang tak langsung dinyatakan mengidap demensia, melainkan setelah melewati tahapan penurunan kemampuan kognitif secara berkala. Namun, karena gejala utamanya yaitu ‘lupa’ sering dianggap sepele, biasanya demensia hanya didiagnosa di tahap lanjut.
Azam menekankan untuk tak menyepelekan indikasi utama demensia yakni kepikunan yang konsisten. Segera datangi dokter terdekat untuk menjalani tes atau stimulasi sebelum terlambat.
“Pikun itu bukan sesuatu yang normal. Pikun yang terus-menerus makin lupa itu bukan bagian dari penuaan normal. Jadi kalau punya bapak/ibu yang mengalami pikun makin buruk harus segera dicek,” katanya dalam video conference, Sabtu (12/9).
Demensia sendiri merupakan terminologi payung untuk setidaknya enam jenis demensia. Namun, yang paling dikenal masyarakat dan yang paling banyak diidap ialah Demensia Alzheimer.
Umumnya, atau 60 persen – 80 persen demensia yang diidap masyarakat Indonesia merupakan Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler.
Demensia Alzheimer sendiri ditandai dengan penyusutan masa dan volume otak, dengan kata lain otak pengidap Demensia Alzheimer menciut secara berkala.
Selain itu, orang dengan demensia (ODD) juga mengalami penambahan plak amiloid yang mengatur fungsi kognitif seseorang.
Perlambatan fungsi kognitif ini menyebabkan penderita secara gradual sulit mencerna pertanyaan rumit atau mengingat hal-hal sepele. Azam bilang bahwa ODD juga kerap tak lagi mampu menentukan hal kecil seperti pakaian apa yang hendak dikenakan.
Penyebab demensia bervariatif, dari tekanan darah tinggi (hipertensi), kadar kolesterol tinggi, obesitas, konsumsi rokok dan alkohol berlebihan, cedera kepada, hingga sindroma down.
Keturunan juga menjadi salah satu faktor penguat. Namun tak signifikan, dari total kasus demensia, hanya 5 persen hingga 10 persen yang disebabkan dari faktor tersebut.
Lebih lanjut, Azam menyebut riset dari Survey Meter menunjukkan bahwa 2 dari 10 warga Yogyakarta mengalami demensia ketika menginjak usia 65 tahun atau lebih. Namun, belum diketahui alasan mengapa rata-rata angka demensia di Yogyakarta begitu tinggi.
Sementara, melansir Alzheimer’s Indonesia, diperkirakan sekitar 1,2 juta orang mengidap demensia pada 2016 dan akan meningkat menjadi 2 juta ODD pada 2030. Tren akan menanjak menuju 4 juta orang pada 2050. Sementara, di dunia, terdapat 10 juta kasus demensia baru setiap tahunnya.
Untuk mengetahui jika Anda mengidap Alzheimer hanya dapat dilakukan dengan cara otopsi. Namun, metode ini tak memungkinkan dilakukan kepada seseorang yang masih hidup.
Oleh karena itu, yang bisa dilakukan yaitu menganalisis riwayat kasus, tes kognitif, tes darah dan urine, serta melakukan scan CT atau MRI.
“Kalau mau memeriksakan bisa ke poliklinik memori sudah pasti bisa mengecek kalau seseorang mengalami demensia atau tidak,” kata dia.
Adapun gejala umum demensia ialah gangguan daya ingat, sulit fokus, gangguan komunikasi, menarik diri, serta perubahan perilaku.
Meski tak ada resep pasti dalam menghindari demensia, namun Azam mengatakan kiat-kiat yang dapat dilakukan yaitu makan sehat, menjaga kolestrol, dan rutin berolahraga. Sementara untuk mereka yang berusia lanjut, dapat melakukan uji kognitif seperti mengisi teka-teki atau melakukan aktivitas yang menguji kemampuan otak lainnya.(CNN Indonesia).