Alamat Tinggal Tergugat Dimanipulasi, PN Pandeglang Periksa Perkara Melampaui Batas Wewenang

BANTEN (mimbarsumut.com) – Mafia peradilan atau mafia hukum adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam sistem peradilan. Istilah ini merujuk pada tindakan sistematis, konspiratif, dan terstruktur yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak lain untuk mempengaruhi jalannya penegakan hukum demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Perkara perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) No. 8/PDT.G/2025/PN.Pdl sedang diperiksa di Pengadilan Negeri (PN) Pandeglang. Perkara ini tidak seharusnya ada. Perkara ini adalah kelanjutan dari perkara yang direkayasa sedemikian cantik oleh sekelompok orang dengan tujuan utamanya untuk merampas asset puluhan miliar milik keluarga Joshrius.

Asset Perumahan Bumi Caringin yang terletak di Kabupaten Pandeglang tersebut milik keluarga Joshrius sejak tahun 2021 silam. Proses perubahan susunan kepengurusan dan perubahan kepemilikan saham perusahaan semua sesuai standar anggaran dasar perusahaan dan UU PT. Transaksi berupa sejumlah uang tunai diterima para penjual sahamnya masing-masing sesuai yang sebenarnya dan didukung standar administrasi yang benar dan baik.

Hal itu disampaikan Joshrius baru baru ini kepada awak media.
Menurut Joshrius, sekelompok orang hina telah bekerja sama melakukan tindakan hukum negatif terhadap dirinya dan keluarganya. Tahun 2023 yang lalu, saya dan keluarga dilaporkan di Polda Banten, tepatnya di subdit tiga (3), Jatanras Unit Resmob tanpa alat bukti yang jelas.

Pelapor perkara pidana itu, H. Sehat Ganda mengaku ngaku pemilik PT. Suryamulia Gemalanggeng. Kemudian didakwa JPU yang sudah disiapkan. Majelis Hakimnya pun sudah disiapkan dengan lengkap, termasuk orang orang yang staf yang digunakan menutup akses hak hukum kami, seperti banding dan kasasi. Bahkan pihak rutan juga telah siap menjalankan tugas masing-masing dalam memanipulasi, menggelapkan surat serta menutup akses kami ke dunia luar,” kata Joshrius

“Sebenarnya saya sudah tau akan hal seperti itu dilakukan oleh sekelompok orang itu. Maka saat ditahan di rutan Polda Banten saya langsung persiapkan buku buku
yang berhubungan dengan perkara perdata. Saya paham akan akhir daripada perkara yang konspiratif itu pasti ke perkara perdata yang tujuan mereka mendapatkan putusan perstek.

“Saya tau perkara yang mengorbankan keluarga saya akan berakhir di perkara perdata seperti yang terjadi saat ini. Hanya saja, saya agak heran sedikit. Mengapa perkara perdata No. 8/PDT.G/2025/PN.Pdl ini di proses dan diperiksa di PN Pandeglang. Penggugat Martua Mungkur tau tempat tinggal kami para tergugat. Alamat sesuai dokumen yang tertera pada akta autentik ada jelas. Penggugat Martua Mungkur beberapa kali berkunjung ke rumah kediaman kami para tergugat. Penggugat tau benar keberadaan domisili tempat tinggal para tergugat,” urainya.

Bahkan keluarga penggugat yang ada di provinsi Banten sering sekali numpang makan dan minum di rumah tempat kediaman para tergugat, tambah Joshrius.

“Menurut aturan hukum perdata Pengadilan yang berwewenang memeriksa dan mengadili suatu perkara adalah Pengadilan yang berada di tempat tinggal tergugat. Lalu, mengapa penggugat memanipulasi alamat tempat tinggal para tergugat,” kata Joshrius terheran heran dengan nada bertanya.

Dikatakan, perkara perdata No. 8/PDT.G/2025/PN.P.dl diperiksa di PN Pandeglang. Anehnya nama saya sengaja dimanipulasi. Alamat tempat tinggal saya dimanipulasi. Alamat tempat tinggal tergugat II dan alamat tempat tinggal tergugat III semuanya disengaja dimanipulasi penggugat. Bahkan alamat turut tergugat I yang seharusnya di Jakarta, tetapi sengaja dimanipulasi menjadi di Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi Banten”, kata Joshrius heran.

Joshrius membeberkan, gugatan mereka kami bantah habis termasuk replikanya. Surat kuasanya kacau balau. Tempat tinggal para tergugat di manipulasi, nama tergugat I, mereka palsukan. Yang benar tergugat I, adalah Joshrius. Namun, mereka rubah menjadi nama Joshrius Sitinjak tergugat I.

Nah, pengguat penggugat tidak lengkap atau kurang pihak. Para tergugat juga kurang pihak. Pengadilan yang memeriksa perkara kami ini telah melanggar batas wilayah kewenangan PN Pandeglang. Gugatan PMH digabungkan dengan wanprestasi dan surat resume ditujukan kepada mediator non hakim,” beber Joshrius.

“Mediator dalam perkara no 8/PDT.G/2025/PN.Pdl adalah seorang hakim. Intinya, kacau balau deh gugatan mereka itu ! Belum lagi penggugat II yang menurut saya keberadaannya yang sebenarnya itu mereka tidak tau.

Jikakalau penggugat II, tidak tau posisi dan keberadaannya, lalu siapa yang tandatangan surat kuasa khususnya ? Siapa yang tandatangan surat kuasa khusus mewakili prinsipal saat mediasi. Setelah semua ini selesai, kita akan buat tindak lanjut untuk menghentikan mafia peradilan termasuk oknum yang bekerja sama dengan mereka itu, ujar Joshrius serius.

Menanggapi hal diatas, Dr. Rusdin Ismail, SH.MH, kepada mimbarsumut.com, Senin (30/06/2025) mengatakan surat kuasa mediasi adalah dokumen yang memberikan wewenang kepada kuasa hukum untuk mewakili pihak yang bersengketa dalam proses mediasi di pengadilan.

Hal itu diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2016,” kata Dr. Rusdin Ismail, SH.MH,.

Jadi jika surat resume mediasi penggugat ditujukan kepada non-hakim, padahal mediatornya adalah hakim. Ini tidak sesuai prosedur karena resume mediasi harus ditujukan kepada hakim pemeriksa perkara yang menunjuk mediator, bukan kepada pihak lain, apalagi non-hakim,” tambahnya.

Ketika ditanya tentang tulisan surat kuasa ditandatangani 27 Desember 2024, namun surat kuasanya sesungguhnya tidak ada, menurut pandangan pakar Hukum Dr. Rusdin Ismail, SH. MH,. jika surat kuasa dari penggugat tertulis dalam surat resume ditandatangani tanggal 27 Desember 2024 tidak ada, tetapi disebutkan dalam resume mediasi, hal itu dipastikan menjadi masalah, karena surat resume mediasi mencatat adanya surat kuasa, ketidakadaan fisik dokumen tersebut bisa menimbulkan keraguan keabsahannya.

Jika surat kuasa yang disebutkan dalam resume mediasi tersebut tidak benar ada, hal ini bisa meragukan proses mediasi secara keseluruhan”, terang Dr. Rusdin Ismail, SH. MH.

Ketika ditanya tentang ada manipulasi alamat tinggal para tergugat, Dr Rusdin Ismail, SH. MH mengatakan, jika nama dan alamat tinggal tergugat sengaja dimanipulasi dalam gugatan perdata, hal ini dapat menyebabkan gugatan menjadi cacat formil (obscuur libel) atau gugatan menjadi error in persona. Kesalahan ini dapat berakibat pada ditolaknya gugatan oleh pengadilan, atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

Masih Dr. Rusdin Ismail, SH.MH, “Error in Persona adalah kesalahan identitas tergugat (nama dan alamat) yang disengaja dapat dikategorikan sebagai error in persona. Hal ini terjadi ketika penggugat salah menarik pihak sebagai tergugat, sehingga hubungan hukum yang seharusnya dengan pihak lain menjadi tidak jelas. Jika identitas tergugat (nama dan alamat) disamarkan atau tidak jelas, gugatan dapat dianggap sebagai obscuur libel. Berarti gugatan tersebut tidak jelas dan tidak terang, sehingga hakim sulit untuk memahami siapa yang sebenarnya digugat dan apa dasar gugatannya. Jadi akibat dari error in persona dan obscuur libel adalah gugatan dapat ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima oleh pengadilan. Hakim akan berpendapat bahwa gugatan tidak memenuhi syarat formil, sehingga tidak dapat diperiksa lebih lanjut. Yurisprudensi Putusan MA No. 601 K/Sip/1975. Dan Putusan MA No. 305 K/Sip/1971,” kata Dr. Rusdin Ismail, SH.MH.

Media ini bertanya tentang alat bukti foto copy yang akta aslinya dipegang tergugat. Pakar Hukum Dr Rusdin Ismail,SH. MH mengatakan, fotokopi bukti yang diajukan oleh penggugat dan akta aslinya dipegang oleh tergugat, boleh saja jika diakui oleh tergugat dapat menjadi bukti yang sah meskipun aslinya tidak dihadirkan di persidangan, asalkan ada pengakuan dari tergugat. Itu juga dapat di lihat Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) RI, seperti Putusan MA Nomor 410 K/Pdt/2004.

mimbarsumut.com minta kejelasan tentang alat bukti tambahan pada saat penggugat mengajukan replik, Dr. Rusdin Ismail, SH. MH menyatakan, ya, pada prinsipnya penggugat tidak diperkenankan menambah alat bukti baru saat menyampaikan replik, alat bukti tersebut seharusnya sudah dilampirkan bersama gugatan awal. Replik (tanggapan terhadap jawaban tergugat) pada dasarnya adalah hak untuk menanggapi jawaban tergugat, bukan kesempatan untuk mengajukan bukti baru yang seharusnya sudah ada.

Dalam proses peradilan perdata, setelah tergugat menyampaikan jawabannya, penggugat memiliki hak untuk memberikan replik, yaitu tanggapan terhadap jawaban tergugat tersebut. Jadi replik bukan waktu untuk mengajukan bukti baru. Karena tahapan replik adalah kesempatan untuk menanggapi argumen tergugat, bukan untuk menambah alat bukti baru yang seharusnya sudah diajukan sebelumnya.

Pembatasan ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan proses peradilan, mencegah penyalahgunaan hak, dan memastikan bahwa proses pembuktian dilakukan secara adil dan efisien, katanya.

Ketika ditanya tentang wanprestasi digabungkan dengan PMH. Dr. Rusdin Ismail, SH. MH menjelaskan, beberapa putusan MA, seperti Putusan No. 1875 K/Pdt/1984 dan No. 2643 K/Pdt/1994, menegaskan bahwa PMH dan wanprestasi harus dipisahkan dalam gugatan karena keduanya memiliki dasar hukum dan unsur pembuktian yang berbeda. Jika kedua gugatan ini digabungkan dalam satu surat gugatan, maka hakim kemungkinan akan menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard – NO) atau gugatan tersebut akan ditolak karena melanggar tertib acara.

Jadi jika anda ingin menggugat karena wanprestasi dan PMH, harus mengajukan dua gugatan terpisah. Gugatan pertama untuk wanprestasi berdasarkan perjanjian yang dilanggar, dan gugatan kedua untuk PMH berdasarkan perbuatan yang melanggar hukum selain perjanjian,” jelas Dr. Rusdin Ismail, SH. MH

Ketika ditanya tentang alamat kantor seolah-olah alamat tinggal tergugat, Dr. Rusdin menjelaskan, alamat kantor tergugat dan alamat tempat tinggal (domisili) tergugat adalah dua hal yang berbeda dan memiliki implikasi hukum yang berbeda pula dalam konteks hukum perdata, khususnya dalam proses peradilan. Alamat kantor menunjukkan tempat tergugat bekerja atau menjalankan usahanya, sedangkan alamat tinggal (domisili) adalah tempat di mana tergugat secara sah bertempat tinggal dan diakui secara hukum.

Kemudian dasar hukum yang mengatur kewajiban tempat pengadilan negeri dalam perkara perdata, khususnya terkait alamat tergugat, terdapat dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Herziene Inlandsch Reglement) atau Pasal 142 RBg (Reglement op de Rechtsvordering). Pasal ini menyatakan bahwa Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa gugatan adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat. Dan penjelasan pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142 RBg, bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara perdata di daerah hukum tempat tinggal tergugat. Ketentuan ini berkaitan dengan kompetensi relatif pengadilan, yaitu kewenangan pengadilan untuk memeriksa perkara berdasarkan wilayah atau daerah hukum”.

“Jadi jika tergugat memiliki kantor di Jakarta tetapi tergugat tinggal di Bandung, gugatan perdata biasanya diajukan di Pengadilan Negeri Bandung (karena Bandung adalah domisili tergugat), bukan Pengadilan Negeri Jakarta.

Panggilan sidang juga akan ditujukan ke alamat domisili tergugat di Bandung bukan di alamat kantor tergugat. Bahkan jika tergugat tidak diketahui alamat domisilinya, pengadilan dapat melakukan pemanggilan melalui pengumuman di papan pengumuman pengadilan atau media massa. Walaupun alamat kantor tergugat diketahui, tetapi alamat domisilinya tidak diketahui, gugatan tetap harus diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi alamat domisili tergugat, kata pakar Hukum Dr Rusdin Ismail, SH. MH menutup penjelasannya.

Laporan : mei

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed