Rehabilitasi Pengguna Narkoba Dinilai Sebuah Terobosan Baik

NASIONALDibaca 588 Kali
RepublikaRehabilitasi Pengguna Narkoba Dinilai Sebuah Terobosan Baik. Foto: Stop Narkoba (ilustrasi)

JAKARTA (MS) — Badan Nasional Narkotika (BNN) menilai Pedoman Jaksa Agung 18/2021 sebagai terobosan yang positif dalam penyelesaian masalah hukum bagi para pelaku penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Juru Bicara (Jubir) BNN, Komisaris Besar (Kombes) Sulistyo Pudjo mengatakan, dalam pemberantasan narkotika dan obat-obatan terlarang, memang mengharuskan adanya pemisahan antara penanganan para pengguna, pengedar, dan bandar.

“BNN sangat berterimakasih untuk terobosan hukumnya (pedoman) itu. Kalaupun pedoman itu bersifatnya internal (di kejaksaan), tetapi itu terobosan yang bagus,” kata Kombes Pudjo, saat dihubungi, dari Jakarta, pada Senin (8/11). Lewat pedoman tersebut, akan memastikan, tentang hukuman rehabilitasi yang seragam bagi para pelaku penyalahgunaan narkotika yang selama ini tampak tak sama. Sekaligus, kata dia, untuk memastikan, pada tahap mana, dan otoritas mana yang berhak secara hukum, untuk memastikan dilakukan rehabilitasi.

Karena selama ini, ada penanganan yang berbeda-beda terhadap para pelaku penyalahgunaan narkotika. “Terobosan itu, bisa untuk memastikan pada tahap mana, dan kewenangan siapa yang dapat memutuskan untuk melakukan rehabilitasi, apakah kepolisian, kejaksaan, atau dengan pengadilan,” ujar Pudjo menambahkan. Pudjo, pun mengatakan, Pedoman Jaksa Agung tersebut, semakin melangkapi perangkat hukum yang ada selama ini, tentang penanganan khusus para pelaku penyalahgunaan narkotika.

Sebelum Pedoman Jaksa Agung 18/2021, sudah ada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 04/2010. Edaran tersebut, pun sebetulnya sama-sama sebagai pelengkap jajaran internal masing-masing aparat penegak hukum, dalam menjalankan Undang-undang (UU) 35/2009 tentang Narkotika. SEMA, maupun Pedoman Jaksa Agung tersebut, sama-sama memberikan langkah yang berkeadilan untuk menempatkan para pelaku penyalahgunaan narkotika, dan obat-obatan terlarang ke pusat-pusat maupun panti-panti rehabilitasi untuk penyembuhan.

Karena dikatakan Pudjo, BNN menganut paham khusus pengguna narkotika yang seharusnya ‘dihukum’ dengan cara direhabilitasi untuk penyembuhan total. “Secara filisofinya itu, pengguna narkotika, itu memang harusnya direhab. Bukan penjara badan. Karena semua sistem yang ada, harus memberikan jalan pengguna itu direhab. Bandar, dan pengedar itu beda lagi,” ujar Pudjo. Pudjo, pun menerangkan, secara penegakan hukum, atau projusticia, mewajibkan pengguna narkotika untuk direhabilitasi, sesuai dengan azas keadilan.

Dalam projusticia, kata Pudjo, memang menjadi tidak adil, pun tidak layak orang yang hanya menggunakan, dan menyalahgunakan narkotika, dicampur dengan narapidana yang lain, seperti narapidana pengedar, maupun bandar narkotika. “Karena itu, dalam projusticia, agar jangan sampai orang-orang yang dulunya itu hanya menggunakan, malah nanti naik kelas jadi pengedar, atau bandar. Karena itu, tidak bisa dicampur mereka itu dalam penghukuman itu,” ujar Pudjo.

Dosen Hukum Pidana di Universitas Islam Indonesia (UII) Profesor Mudzakir menilai, Pedoman Jaksa Agung 18/2021 itu, sejatinya realisasi dari aturan internal di kejaksaan sebelumnya, tentang penegakan hukum yang berkeadilan restoratif. “Pedoman tersebut, sebenarnya kelanjutan dari instruksi Jaksa Agung sebelumnya, untuk mengedepankan penegakan hukum yang lebih progresif dan lebih memperhatikan keadilan yang restoratif,” ujar Mudzakir, saat dihubungi, Senin (8/11).

Terkait itu, konteks pemidanaan penjara terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika, selama ini memang tampak tak adil karena mengutamakan hukuman badan berupa pemenjaraan. Dengan adanya Pedoman Jaksa Agung tersebut, menurut Mudzakir, seharusnya berlanjut dengan aturan internal dari Polri, yang juga memastikan perlunya mengubah pola penghukuman terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika dari pemenjaraan, ke hukuman yang lebih tepat, berupa kewajiban merehabilitasi.

“Kalau dilihat dia sebagai pengguna murni, saya kira, cara menghukum dengan mewajibkan rehabilitasi, itu adalah langkah hukum yang bijak, dan lebih adil,” ujar Mudzakir. Karena menurut dia, khusus para pengguna penyalahgunaan narkotika itu, secara konteks pidana, perbuatannya tersebut tak merugikan orang lain. Melainkan, hanya merusak dirinya sendiri. “Dan negara, serta aparat penegak hukum, dalam hal ini Jaksa Agung, sudah tepat jika menginstruksikan jaksa penuntutnya, untuk hanya menuntut pengguna murni narkotika, dengan hukum rehabilitasi,” ujar Mudzakir.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejakgung) tak lagi menjadikan pemidanaan badan, atau pemenjaraan sebagai hukuman terhadap para pelaku, dan pengguna penyalahgunaan narkotika. Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin memerintahkan agar para jaksa penuntut umum (JPU) di seluruh Indonesia menerapkan konsep keadilan restoratif, berupa rehabilitasi dalam setiap penuntutan di pengadilan, bagi para pelaku, dan pengguna penyalahgunaan narkotika.

Perintah Burhanuddin tersebut, tertuang dalam Pedoman Jaksa Agung 18/2021 yang sudah diterbitkan. Pedoman tersebut diterbitkan, dan diterapkan mulai 1 November 2021. Pedoman tersebut, sebagai basis pelaksanaan penuntutan oleh seluruh jaksa, terhadap perkara-perkara yang terkait dengan Undang-undang (UU) 35/2009 tentang Narkotika. Khususnya menyangkut tentang para pelaku penyalahgunaan narkotika, dalam Pasal 127 ayat (1). Selama ini, penjeraan terhadap penyalahgunaan narkotika, dalam pasal tersebut, berorientasi pada penghukuman ke pemenjaraan satu sampai empat tahun.

Orientasi pemenjaraan tersebut, dikatakan Burhanuddin, berujung pada persoalan serius yang dihadapi sistem pemidanaan, dan pelembagaan masyarakat saat ini. Yaitu, dengan penuhnya seluruh fasilitas pemenjaraan di Tanah Air, yang didominasi oleh para narapidana, dari ragam pelaku penyalahgunaan narkotika. Lewat Pedoman 18/2021 tersebut, kejaksaan berinisiatif mengambil langkah progroresif dengan mengubah orientasi penjeraan pelaku penyalahgunaan narkotika, dengan pendekatan keadilan restoratif.

Yaitu, dengan menjadikan kewajiban rehabilitasi sebagai hukuman dalam setiap penuntutan di pengadilan, bagi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Penuntutan tersebut, pun dikatakan Burhanuddin, dengan mengoptimalkan peran lembaga-lembaga, dan pusat-pusat rehabilitasi narkotika. “Jaksa selaku pengendali perkara, berdasarkan asas dominus litis, dapat melakukan penyelesaian perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika, melalui rehabilitasi pada tahap penuntutan,” ujar Burhanuddin.(REPUBLIKA.CO.ID).

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed