Pasir Putih Parbaba Jejak yang Ditinggalkan, Ruang Hidup yang Terancam

SAMOSIR (mimbarsumut.com) – Di sebuah sudut Pantai Pasir Putih Parbaba, dua tapak kaki membatu tertanam pada prasasti bersejarah. Jejak itu milik Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, Prof. Dr. Ir. Johar Arifin Husin, yang meresmikan kawasan ini sebagai destinasi wisata nasional pada 18 Mei 2006.

Dua dekade kemudian, jejak kaki itu seperti simbol yang terlupakan. Pemerintah Kabupaten Samosir kini menerbitkan surat edaran Nomor 500.13.39.1/936/DISBUDPAR yang menghimbau seluruh pelaku usaha wisata untuk membongkar bangunan di sepanjang sempadan Danau Toba. Batas waktu diberikan hingga 30 Juni 2025, dengan alasan penataan kawasan, kebersihan, dan pelestarian ekosistem.

Namun, masyarakat menilai surat ini sebagai sinyal penggusuran, yang tidak mempertimbangkan sejarah, kontribusi warga, serta kehidupan yang telah bertahun-tahun tumbuh di kawasan itu.

“Kami bukan pendatang. Ini tanah adat leluhur kami. Kami mengusahakan pondok ini dengan keringat sendiri, dari utang bank, bukan proyek pemerintah,” ujar Mangoloi Sihaloho, salah satu pengelola pondok di Parbaba.
Surat Penertiban : siapa yang Akan mengisi setelah kami dikeluarkan ?

Surat edaran tersebut tidak menjelaskan secara rinci apa yang akan terjadi setelah penataan. Tidak disebutkan apakah warga lokal akan dilibatkan kembali, atau siapa yang akan mengelola setelah kawasan dibersihkan.

Ketidakjelasan ini membuat banyak warga curiga, apakah surat ini menjadi tiket masuk bagi investor luar ?

“Kalau nanti kami sudah tidak di sini lagi, siapa yang akan bangun di pantai ini ? Kami takut ini hanya kedok untuk mengosongkan lahan demi proyek besar,” kata seorang warga lainnya.

Padahal Kontribusi Warga Tak Bisa Dikesampingkan

Pantai Pasir Putih Parbaba selama ini hidup berkat keterlibatan warga. Mereka membangun pondok-pondok sederhana di bibir danau, menawarkan makanan khas Batak, sewa pelampung, perahu wisata, hingga tempat penginapan sederhana.

Menurut penghitungan kasar warga, pada musim liburan atau hari besar seperti Tahun Baru, Imlek, atau libur sekolah, pengunjung bisa mencapai 1000 orang per hari, dengan potensi retribusi masuk mencapai Rp 50 juta hanya dalam 10 hari. Semua itu terjadi tanpa investor besar, hanya dari kerja keras warga.

Ancaman Lain: Penambangan Pasir yang Tak Tersentuh

Ironisnya, di saat pemerintah sibuk menertibkan pondok wisata, aktivitas penggalian pasir liar justru tidak tersentuh hukum. Padahal, warga menyebut penambangan pasir inilah penyebab utama kerusakan garis pantai danau.

“Dulu air Danau Toba tetap jernih walau ombak besar. Sekarang, ombak kecil pun membuat airnya keruh karena dasar pasirnya sudah hilang,” tulis Mangoloi dalam pernyataan sikapnya.

Penambangan yang berjarak ratusan meter dari pantai menyebabkan pasir di kawasan Pasir Putih Parbaba ‘tertarik’ oleh arus, menutup kubangan bekas galian, dan menyebabkan degradasi ekosistem.

Suara Warga : Kami Siap Tertib, Tapi Tolong Jangan Singkirkan Kami

Melalui surat terbuka dan orasi warga, masyarakat menyatakan kesediaan untuk menata kawasan secara mandiri, tanpa menunggu tindakan dari dinas. Namun mereka berharap kebijakan dilakukan dengan dialog, bukan dengan penggusuran sepihak.

“Kami tidak menolak aturan. Tapi berikan kami ruang hidup. Jangan ulangi kejadian 2022, saat pondok kami dibongkar tanpa solusi. Kami tidak ingin dikhianati dua kali,” tegasnya.

Kami masih menanti pernyataan resmi dari Dinas Pariwisata dan Pemkab Samosir mengenai
rencana lanjutan setelah penertiban. Apakah benar ada investor yang akan
masuk ? dan bagaimana nasib pelaku usaha lokal.

Pantai Pasir Putih bukan sekadar tempat wisata. Ia adalah rumah, sejarah, dan harapan. Jika penataan akan dilakukan, maka seharusnya dilakukan bersama, bukan atas nama pembangunan yang membungkam warga sendiri.

Laporan : sofian candra lase

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed