SAMOSIR (mimbarsumut.com) – Suasana tegang menyelimuti kawasan wisata Pantai Pasir Putih Parbaba, ikon pariwisata unggulan Danau Toba. Para pelaku wisata lokal kini resah menghadapi rencana penertiban pondok-pondok wisata milik warga yang dijadwalkan pada 30 Juni 2025. Kebijakan ini dinilai dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah Kabupaten Samosir tanpa proses musyawarah atau dialog terbuka dengan masyarakat terdampak.
Surat penertiban tersebut bukan hanya mengguncang sektor ekonomi lokal, tapi juga membangkitkan nostalgia dan perbandingan warga terhadap kebijakan para pemimpin sebelumnya, khususnya masa pemerintahan Mangindar Simbolon (2005–2015), Rapidin Simbolon (2015–2020), dan Vandiko Gultom (2021–sekarang).
Mangindar Simbol Emosional dan Kepedulian
Dimata masyarakat Parbaba, masa pemerintahan Mangindar dikenang sebagai era penuh kehangatan. Ia tidak hanya membangun infrastruktur, tetapi juga menanamkan rasa memiliki terhadap tanah kelahiran. Pernyataan bahwa ari-ari dan pusarnya ditanam di tanah Samosir menjadi simbol kedekatan emosionalnya dengan warga.
“Pak Mangindar itu bukan hanya membangun, tapi juga merasa memiliki. Beliau hadir saat rakyat butuh, dan menghidupkan Parbaba tanpa menggusur warga,” kata Mangoloi Sihaloho, tokoh masyarakat di Desa Hutabolon.
Era ramainya Parbaba dan sinergi warga dibawah Rapidin, geliat pariwisata mencapai puncaknya. Pendekatannya berbasis pembinaan dan partisipasi. Pondok wisata dibina, bukan dibongkar. UMKM tumbuh dan masyarakat diberi pelatihan serta ruang terlibat dalam pengelolaan kawasan.
“Ada pendampingan, ada pelatihan, dan yang paling penting kami diajak bicara,” ujar R. Lumban Gaol, pelaku usaha sejak 2017. Tidak ada penertiban mendadak, tidak ada pengusiran paksa. Dialog dan keterlibatan menjadi landasan pembangunan wisata saat itu.
Penataan yang dianggap menggusur memasuki masa pemerintahan Vandiko Gultom, pendekatan dinilai berubah drastis. Rencana penataan Pantai Parbaba diwarnai ultimatum. Pondok harus dibongkar sendiri paling lambat 30 Juni 2025 atau akan ditertibkan secara paksa. Ironisnya, penertiban dilakukan dipuncak musim libur sekolah, saat ribuan wisatawan sudah melakukan reservasi.
“Kenapa penertiban dilakukan saat pengunjung membludak ? Tidak ada solusi, tidak ada ganti rugi, hanya perintah bongkar. Kami ini warga, bukan penyusup !” tegas R. Sihotang, ibu pemilik warung.
Dari Mangindar ke Vandiko: bergesernya paradigma penataan
Masyarakat melihat jelas pergeseran paradigma kekuasaan. Dari pendekatan humanis dan dialogis di masa Mangindar dan Rapidin, kini bergeser ke pendekatan instruktif dan teknokratis yang minim partisipasi di era Vandiko.
Jika dulu pemerintah hadir merangkul, kini warga merasa ditinggalkan. Bahkan lembaga teknis seperti Balai Wilayah Sungai (BWS) yang dijadikan dasar penertiban pun tidak hadir nyata di lapangan.
Kewenangan BWS Dipertanyakan: Empat Hal yang Belum Dipenuhi
Penertiban berdasar pada Peraturan Menteri PUPR No. 28 Tahun 2015 tentang sempadan danau. Namun, masyarakat mencatat bahwa BWS belum menjalankan fungsinya secara penuh, setidaknya dalam empat hal:
1. Tidak Ada Penetapan Resmi Garis Sempadan oleh BWS di Lapangan
Belum ada patok atau peta yang diverifikasi bersama. Masyarakat bingung menentukan letak pelanggaran jika tidak ada batas yang sah.
2. Tidak Ada Sosialisasi atau Pendampingan Teknis. Warga dan pelaku usaha tidak pernah mendapat penjelasan langsung dari BWS. Tanpa edukasi teknis, penataan jadi sepihak dan rawan konflik.
3. Tidak Ada Rencana atau Komitmen untuk Pemulihan Ekosistem. Tidak ada rencana pemulihan vegetasi, erosi, atau konservasi danau yang dipaparkan BWS.
Penertiban tidak disertai langkah ekologis jangka panjang.
4. Tidak Ada Keterbukaan Data Teknis dan Peta Wilayah. Publik tidak bisa mengakses data teknis. Penataan tanpa transparansi memunculkan kecurigaan dan ketidakpercayaan. Aliansi Pelaku Wisata Parbaba Surati Presiden RI
Menanggapi situasi darurat, Aliansi Pelaku Wisata Masyarakat Parbaba menyurati Pemkab Samosir dan Presiden RI, Prabowo Subianto, pada 28 Juni 2025. Isi tuntutan mereka:
1. Penundaan penertiban dan pembongkaran
2. Dialog terbuka dengan warga dan tokoh adat
3. Penolakan terhadap dominasi investor luar
4. Perlindungan terhadap ekonomi rakyat kecil
5. Transparansi atas desain besar penataan kawasan “Kami tidak anti penataan, tapi kami menolak dipinggirkan,” ujar P. Naibaho, perwakilan aliansi.
Warga minta dialog, bukan penggusuran.
“Parbaba bukan sekadar tempat wisata. Ini tanah adat, ruang hidup, dan sumber nafkah kami. Kalau niatnya baik, ayo duduk bersama!” seru L .Simbolon seorang pelaku wisata di pasir putih parbaba
Pembangunan Tidak Boleh Menghapus Rakyat
Perubahan kepemimpinan seharusnya membawa perbaikan, bukan ketakutan. Apalagi dalam konteks pembangunan kawasan wisata yang selama ini tumbuh dari tangan masyarakat sendiri.
Penataan ruang semestinya dilandasi pada kejelasan teknis, keadilan sosial, dan partisipasi warga lokal. Tanpa ketiga hal ini, pembangunan hanya akan meninggalkan luka, kekecewaan, dan ketidakpercayaan.
Rakyat bukan hambatan. Mereka adalah bagian dari solusi. Jika mereka disingkirkan, maka yang terjadi bukanlah pembangunan, melainkan perampasan ruang hidup yang dilakukan secara terstruktur dan sah oleh kekuasaan.
Masyarakat Parbaba hanya meminta satu hal: duduk bersama sebagai warga negara, bukan sebagai penghalang rencana. Dialog, data yang terbuka, dan perencanaan ekologis yang adil adalah fondasi utama keberhasilan penataan kawasan Danau Toba yang sesungguhnya berkelanjutan.
Laporan : sofian candra lase