BATUBARA (mimbarsumut.com) – Kawasan wisata pantai sejarah yang kini berganti nama menjadi Mangrove Park di Desa Perupuk, Kecamatan Limapuluh Pesisir, Kabupaten Batubara, tengah menjadi sorotan publik.
Pasalnya, sejumlah pengunjung mengaku dipalak puluhan ribu rupiah tanpa karcis resmi, sementara setoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) disebut nihil. Dugaan praktik pungutan liar (pungli) di lokasi wisata ini pun semakin mencuat.
Berdasarkan pantauan dan informasi yang dihimpun, objek wisata tersebut awalnya hanya berupa jalan usaha nelayan dan lokasi penangkaran kerang.
Namun pada 2020, kawasan ini direhabilitasi menjadi destinasi wisata dengan alokasi anggaran miliaran rupiah, bahkan melibatkan pihak swasta.
Ironisnya, meski menggunakan dana rakyat, pengelolaan Mangrove Park kini diduga dikuasai sekelompok pihak yang mengatasnamakan kelompok petani mangrove. Mereka bebas melakukan pungutan tanpa pengawasan pemerintah daerah dan tanpa dasar hukum yang jelas.
Seorang pengunjung, Helmi Syam, mengungkapkan kekecewaannya lantaran harus mengeluarkan uang Rp20.000 untuk memasuki kawasan wisata tersebut.
“Pertama Rp10.000 untuk tiket masuk, tapi karcisnya tidak jelas, tanpa stempel atau logo resmi pemerintah daerah. Lalu Rp5.000 untuk parkir, juga tanpa karcis. Terakhir Rp5.000 lagi untuk ke jembatan wisata. Semuanya tidak jelas peruntukannya dan terkesan pungli,” keluh Helmi.
Kepala Desa Perupuk, Anton, menegaskan pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam pembangunan maupun pengelolaan Mangrove Park.
“Lokasinya memang berada di desa kami, tetapi pemerintah desa tidak pernah diajak bicara. Semua diatur oleh kelompok tertentu,” ujarnya.
Fakta mengejutkan juga disampaikan seorang petugas Dinas Perhubungan Batubara. Ia menyebut hingga kini tidak pernah ada setoran retribusi parkir dari Mangrove Park ke kas daerah. Hal ini memperkuat dugaan bahwa pungutan yang terjadi di lokasi wisata tersebut bersifat ilegal.
Atas kondisi ini, masyarakat mendesak Polres Batubara untuk segera mengusut dugaan pungli yang dinilai sudah berlangsung bertahun-tahun dan hanya menguntungkan segelintir pihak. Mereka bahkan mencurigai adanya praktik kongkalikong antara pengelola dengan oknum pejabat.
“Wisata ini dibangun dengan anggaran miliaran rupiah, tapi warga justru diperas. Kami minta polisi bergerak cepat,” tegas seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Laporan : dewo