Massa Desak Penutupan PT TPL, Gubernur Bobby Belum Bersikap

Medan, PERISTIWA, RAGAM266 views

SUMUT (mimbarsumut.com) – Ribuan massa dari berbagai elemen masyarakat tanah Batak memadati Kantor Gubernur Sumatera Utara, Jalan Pangeran Diponegoro, Medan, Senin (10/11/2025).

Mereka menuntut agar Pemerintah Provinsi Sumatera Utara segera merekomendasikan penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang dinilai telah menyebabkan kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan hilangnya hak-hak masyarakat adat di kawasan hutan Tanah Batak.

Aksi besar yang bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan ke-80 itu berlangsung sejak pukul 09.00 WIB hingga sore hari. Ribuan orang berdatangan dari berbagai daerah seperti Tapanuli Utara, Toba, Humbang Hasundutan, Samosir, dan Tapanuli Selatan, membawa spanduk bertuliskan :“Usir TPL dari Tanah Batak”, “Negara Harus Hadir, Bukan Absen”, dan “Tanah Adat Bukan Tanah Industri.”

Aksi ini diikuti oleh tokoh adat, aktivis lingkungan, mahasiswa, kelompok gereja, dan organisasi masyarakat sipil. Di antaranya tampak perwakilan dari AMAN Tano Batak, WALHI Sumut, GMKI, Komunitas Pemuda Batak Bersatu, serta sejumlah perempuan adat yang membawa simbol budaya seperti ulos dan gondang kecil.

Koordinator aksi, Ompu Ritonga, menegaskan bahwa masyarakat sudah terlalu lama menderita akibat aktivitas industri pulp di tanah leluhur mereka.

“Kami tidak datang untuk anarki, kami datang untuk meminta keadilan. Air kami tercemar, tanah kami tandus, dan hutan kami hilang. Ini bukan sekadar soal izin, tapi soal kehidupan,” ujarnya lantang dari atas mobil komando.

Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution tidak hadir menemui massa karena sedang mengikuti Upacara Hari Pahlawan di Istana Negara, Jakarta. Wakil Gubernur Surya turun menggantikan dan berjanji menyampaikan aspirasi masyarakat kepada gubernur.

Namun, massa menolak bertemu dengan wakil gubernur dan tetap menuntut agar Bobby Nasution memberikan sikap langsung dan tertulis terkait permintaan penutupan TPL.

“Kami datang bukan untuk menemui perantara. Kami ingin mendengar langsung dari mulut Gubernur Sumut,” teriak seorang mahasiswa dari barisan depan.

Sebelumnya, Gubernur Bobby Nasution pernah menyebut bahwa PT TPL memiliki alas hak yang sah untuk beroperasi di kawasan hutan. Pernyataan tersebut menuai kritik tajam karena dianggap mengabaikan penderitaan masyarakat yang kehilangan lahan dan sumber penghidupan.

“Kalau pemerintah hanya mengandalkan legalitas tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan, maka rakyat akan terus dirugikan.”

Tokoh masyarakat dan pemerhati hukum lingkungan, Sahala Arfan Saragi, SH, menilai ketidakhadiran gubernur dalam momen penting ini sebagai tanda lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat adat.

“Ini bukan sekadar unjuk rasa, ini jeritan rakyat yang sudah terlalu lama menanggung akibat eksploitasi hutan oleh PT TPL. Ketika gubernur memilih absen dan tidak mau berdialog langsung, itu menandakan bahwa suara rakyat belum dianggap penting,” tegas Sahala kepada wartawan.

Menurutnya, pemerintah tidak bisa terus bersembunyi di balik dalih izin legal perusahaan. Persoalan TPL bukan hanya soal administrasi, tetapi tentang hak hidup, kedaulatan adat, dan kelestarian alam.

“Kalau izin dijadikan tameng untuk menutup mata terhadap penderitaan rakyat, maka hukum kehilangan rohnya. Pemerintah harus berani bersikap, karena legalitas tanpa keadilan adalah bentuk ketidakadilan baru,” ujarnya tegas.

Dalam pernyataan lanjutannya, Sahala Arfan Saragi menegaskan bahwa hukum di negeri ini seharusnya berpihak kepada rakyat dan alam, bukan menjadi alat legitimasi oligarki korporasi.

“Hukum diciptakan untuk melindungi masyarakat adat dan menjaga keutuhan lingkungan hidup, bukan untuk menguntungkan segelintir pemodal. Bila hukum berpihak kepada yang kuat dan membiarkan yang lemah tertindas, maka negara sedang kehilangan nuraninya,” tandas Sahala.

Ia mendesak Gubernur Sumatera Utara untuk segera membentuk tim independen yang menelusuri dampak sosial dan ekologis akibat aktivitas TPL serta membuka dialog terbuka dengan masyarakat adat.

“Kami tidak menolak investasi, tapi kami menolak ketidakadilan. Jika negara tidak hadir, rakyat akan terus bersuara — karena tanah ini bukan milik korporasi, tapi warisan leluhur yang harus dijaga,” pungkasnya.

Aksi yang berlangsung hingga pukul 16.00 WIB itu dijaga ketat aparat kepolisian dan berjalan damai. Setelah membacakan pernyataan sikap, massa membubarkan diri dengan tertib, namun mereka menegaskan akan kembali turun ke jalan jika Gubernur Bobby Nasution tidak segera memberikan tanggapan resmi.

“Kami akan kembali lebih banyak, lebih kuat, dan lebih tegas. Ini bukan akhir, ini awal perjuangan kami,” ujar perwakilan mahasiswa GMKI.

Konflik antara masyarakat adat dan PT Toba Pulp Lestari telah berlangsung puluhan tahun. Berulang kali masyarakat adat menuding adanya perampasan lahan, pencemaran air, serta ketimpangan ekonomi akibat industri pulp. Pemerintah pusat dan daerah diharapkan segera mengambil langkah konkret agar konflik sosial-ekologis di Tanah Batak tidak terus berlarut.

Laporan : sofian candra lase

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed