Penataan Kawasan Danau Toba Picu Protes : Pelaku Wisata Minta Keadilan atas Tanah Adat Parbaba

SAMOSIR (mimbarsumut.com)
Dibalik gemuruh ombak Danau Toba dan senyum wisatawan yang berswafoto di Pantai Pasir Putih Parbaba, tersembunyi keresahan yang mendalam di hati warga lokal. Bukan karena alam yang berubah, melainkan karena sebuah surat dari Pemerintah Kabupaten Samosir yang dinilai mengancam ruang hidup dan tanah warisan leluhur mereka.

Surat bernomor 500.13.39.1/036/DISBUDPAR yang diteken Sekretaris Daerah Marudut Tua Sitinjak atas nama Bupati Samosir, meminta agar pelaku usaha membongkar bangunan di zona sempadan danau sejauh 50 meter dari garis air tertinggi. Pemerintah memberi tenggat waktu hingga 30 Juni 2025, setelah itu akan dilakukan penertiban lapangan.

Namun dibalik narasi penataan, warga Parbaba melihat adanya ancaman nyata terhadap eksistensi mereka.

Pelaku wisata lokal seperti Mangoloi Sihaloho menegaskan bahwa kawasan Pasir Putih Parbaba bukan hanya lokasi usaha atau tempat wisata, melainkan tanah adat, tanah yang diwariskan secara turun-temurun dan diikat oleh nilai budaya Batak.

“Ini bukan tanah negara. Ini tanah adat leluhur kami. Kami jaga, rawat, dan hidup dari sini sejak dulu. Kami bukan pendatang,” tegas Mangoloi.

Tanah adat adalah tanah milik bersama suatu komunitas adat yang keberadaannya diatur oleh hukum adat dan dijaga oleh struktur sosial budaya masyarakat tersebut.

Di wilayah Batak, tanah adat memiliki makna spiritual, kekerabatan, dan identitas yang melekat kuat dalam sistem marga dan partuturan. Tanah bukan hanya harta, melainkan warisan jiwa.

“Jangan anggap kami penjajah lingkungan. Kami justru bagian dari alam ini. Sejak kecil kami diajarkan menjaga danau, bukan merusaknya,” tambahnya.

Warga menyebut kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan. Pada tahun 2022, Pemkab Samosir juga pernah melakukan penataan dan penertiban di kawasan Parbaba. Alih-alih membawa manfaat, kebijakan saat itu justru menimbulkan kerugian besar bagi para pelaku usaha kecil.

“Tahun 2022 kami pernah ada penataan, kompensasi tidak sesuai dengan kerugian kami, tidak ada solusi. Kami terpaksa bangkit sendiri. Sekarang mau diulang lagi ?” ujar seorang warga yang terdampak saat itu.

Penertiban sebelumnya mengakibatkan hilangnya sumber nafkah, kerusakan properti milik rakyat kecil, dan luka psikologis yang hingga kini belum benar-benar pulih.

Aliansi pelaku wisata Pasir Putih Parbaba menilai pemerintah tidak melibatkan warga dalam proses kebijakan. Tak ada musyawarah, tak ada mediasi. Yang datang justru surat yang terasa seperti vonis.

“Penataan itu bagus, tapi bukan dengan cara menyuruh rakyat kecil membongkar pondok pondok yg sudah dibangun. Apalagi ini tanah adat. Harusnya pemerintah datang dulu, duduk bersama warga, bukan kirim surat lalu menentukan waktu penertiban,” ujar salah satu anggota aliansi.

Bagi banyak wisatawan, pondok kayu di tepi danau justru menjadi daya tarik utama. Mereka datang bukan untuk melihat bangunan modern, melainkan untuk merasakan kesejukan alam dan nuansa budaya.

“Suasananya tenang, alami, dan menyatu dengan danau. Kalau pondok ini hilang, hilang juga jiwanya Parbaba,” kata Nina, pengunjung asal Medan.

Merasa suara mereka tak didengar di tingkat lokal, warga Parbaba melayangkan surat keberatan ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Samosir, bahkan hingga ke Presiden Republik Indonesia.

Isi surat itu menekankan bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan masyarakat adat. Penataan harus dilakukan dengan prinsip keadilan sosial, perlindungan budaya, dan partisipasi warga sebagai subjek pembangunan.

Laporan : sofian candra lase

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed