NISEL (mimbarsumut.com) – Ditengah sorotan publik terhadap integritas penegakan hukum di daerah, kasus penangkapan dan penahanan seorang warga sipil bernama Diaberius Halawa, alias Gabe, menyeruak sebagai contoh krusial yang menuntut transparansi dan akuntabilitas institusi hukum. Berbagai dokumen hukum yang diterbitkan dalam perkara ini menunjukkan indikasi kejanggalan administratif, pelanggaran prosedur, hingga potensi kriminalisasi terhadap warga kecil yang tidak memiliki akses terhadap bantuan hukum memadai.
Tumpukan surat, tapi tak satu arah
penelusuran redaksi terhadap dokumen perkara menemukan enam jenis surat yang diterbitkan oleh aparat penegak hukum:
1. Surat perintah penyidikan
2. Surat panggilan saksi
3. Surat penangkapan
4. Surat perintah penahanan
5. Surat perpanjangan penahanan dari kejaksaan
6. Dua Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
Seluruh dokumen ini diterbitkan dalam rentang waktu 9 Mei hingga 7 Juli 2025. Di atas kertas, tahapan tersebut terlihat prosedural, namun sejumlah tanggal menunjukkan tumpang tindih administratif.
Paling mencolok, surat penangkapan bertanggal 19 Juni 2025, sedangkan surat perintah penahanan baru keluar 20 Juni 2025. Ini berarti penahanan dilakukan sebelum dasar hukumnya resmi diterbitkan, yang berpotensi melanggar prinsip due process of law dalam Pasal 17 KUHAP.
Pasal diberlakukan, bukti
Pasal yang dikenakan terhadap Diaberius Halawa antara lain:
Pasal 351 ayat (1) dan (2) KUHP (penganiayaan), Pasal 21 dan 22 KUHAP (perintangan penyidikan).
Namun, dokumen perkara tidak menyebutkan adanya daftar bukti permulaan. Padahal Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa penangkapan hanya sah bila ada bukti permulaan yang cukup dan alasan mendesak.
Jika bukti permulaan tidak jelas, penahanan bisa dinilai sebagai tindakan represif dan sewenang-wenang.
Menurut dokumen, Diaberius Halawa adalah warga biasa, tidak memiliki pekerjaan tetap, tidak pernah terlibat kriminalitas sebelumnya. Namun, ia langsung ditahan, tanpa diberi alternatif seperti wajib lapor atau penangguhan penahanan.
Mengapa hukum tidak memberikan ruang pendekatan humanis dan restoratif terhadap masyarakat kecil ?. Potensi konflik kepentingan
nama pelapor, Basitia Ndruru alias Ina Meisa, tercantum jelas. Sumber internal yang enggan disebutkan identitasnya menyebut adanya relasi pribadi antara pelapor dan oknum penyidik.
Jika benar, maka terdapat konflik kepentingan serius yang perlu diverifikasi secara independen. Dalam sistem hukum yang berintegritas, setiap relasi non-profesional antara pelapor dan penyidik wajib dikecualikan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
Surat perpanjangan penahanan dari Kejaksaan diterbitkan hingga 10 Juli 2025, dengan alasan masih dibutuhkan waktu untuk melengkapi alat bukti. Bagaimana mungkin seseorang ditahan, jika bahkan Kejaksaan mengakui bahwa alat bukti belum lengkap ?.
Sampai berita ini diterbitkan, tidak ada dokumen resmi yang menyatakan apakah perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan, tersangka dibebaskan, atau diterbitkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan).
Kasus ini menjadi potret serius tentang potensi penyalahgunaan proses hukum terhadap warga kecil. Ini menyangkut pertanyaan mendasar , apakah hukum masih menjadi pelindung bagi semua warga negara, atau hanya instrumen tekanan kepada mereka yang tak berdaya ?
Sebagian besar warga Nias Selatan tidak memahami prosedur hukum, apalagi memiliki daya untuk melawan ketidakadilan prosedural. Disinilah media, LSM, dan lembaga advokasi punya tanggung jawab untuk membuka kasus seperti ini ke ruang publik, bukan untuk menghakimi, tapi untuk mendorong koreksi sistemik.
Upaya konfirmasi oleh wartawan mimbarsumut.com dilakukan pada 12 dan 13 Juli 2025 ke Polres Nias Selatan, didampingi oleh tim dari LBH Panglima DPP pusat Once. Jenius HG ketua perwakilan Sumut dan Goojomasi Halawa sekretaris Sumut.
Namun menurut keterangan petugas piket, Kasat Reskrim dan Kapolres sedang tidak berada di tempat, dan tidak ada pejabat lain yang bersedia memberikan keterangan resmi.
Ketua perwakilan LBH PANGLIMA SUMUT menilai Polres Nias Selatan tidak profesional dalam menangani kasus dan dinilai adanya kejanggalan dalam penanganan kasus klien mereka diduga sudah ditetapkan tersangka yang bernama Diaberius Halawa. Once mengatakan kinerja Polres Nias Selatan perlu dievaluasi Mabes Polri khususnya Reskrim bagian Tipidter.
Mengapa dalam kasus menyangkut hak warga, institusi hukum tidak membuka ruang klarifikasi ?
Pertanyaan untuk Polres Nias Selatan
Tentang Legalitas Prosedur :
1. Apakah penangkapan dilakukan hanya setelah surat perintah dan bukti permulaan cukup, sesuai Pasal 17 KUHAP ?
2. Apakah Polres memiliki SOP tertulis tentang tenggat antara penangkapan dan penahanan
3. Bagaimana menilai legalitas penahanan jika Kejaksaan sendiri mengakui bukti belum cukup ?
Tentang independensi penyidikan :
4. Apa langkah preventif jika pelapor memiliki hubungan pribadi dengan penyidik ?
5. Apakah ada mekanisme pengalihan penyidik untuk mencegah konflik kepentingan ?
Tentang kesetaraan di depan hukum :
6. Mengapa Diaberius langsung ditahan, sementara banyak kasus lain justru ditangguhkan ?
7. Apa dasar obyektif menahan tersangka tanpa riwayat kriminal?
Tentang transparansi dan akuntabilitas :
8. Mengapa belum ada keterangan resmi dari Polres soal status terkini kasus ini?
9. Apakah Polres bersedia membuka dokumen perkara sebagai bentuk transparansi ?
Jika kasus ini menimpa keluarga aparat sendiri — dengan bukti belum lengkap dan prosedur tidak sinkron — apakah perlakuannya akan sama seperti kepada Diaberius Halawa ?
Dan jika benar ditemukannya kejanggalan, mereka akan menempuh jalur praperadilan sebagai upaya hukum dalam membela klien.
Undang-undang yang mengatur praperadilan adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 77 hingga Pasal 83. Selain itu, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga memberikan tafsir dan perluasan terhadap kewenangan praperadilan, seperti Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
KUHAP mengatur secara umum mengenai praperadilan sebagai lembaga untuk menguji sah atau tidaknya tindakan penegak hukum selama proses penyidikan dan penuntutan.
Pasal-pasal KUHAP yang relevan,
Pasal 77 : menentukan objek praperadilan, yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, serta ganti rugi dan rehabilitasi.
Pasal 78-83 mengatur mengenai mekanisme pengajuan, pemeriksaan, dan putusan dalam praperadilan.
Putusan MK:
Beberapa putusan MK, terutama Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, memperluas objek praperadilan. Contohnya, penetapan tersangka yang sebelumnya tidak termasuk dalam objek praperadilan, kini diatur dalam putusan tersebut sebagai objek yang dapat diajukan praperadilan.
Objek Praperadilan,
Selain yang disebutkan di atas, objek praperadilan juga mencakup penggeledahan dan penyitaan, serta ganti rugi dan rehabilitasi bagi mereka yang perkaranya dihentikan ditingkat penyidikan atau penuntutan.
Laporan : sofian candra lase