Parbaba Ditertibkan Lewat Tong Sampah ? Simbol Penataan, Bukan Solusi

RAGAM, Samosir, Wisata254 views

SAMOSIR (mimbarsumut.com)
Rencana penertiban kawasan wisata Pantai Pasir Putih Parbaba yang dijadwalkan berlangsung pada 30 Juni 2025 gagal dilaksanakan. Hingga hari ini, tak ada tanda-tanda tindakan konkret dari Pemerintah Kabupaten Samosir, kecuali kehadiran dua unit tong sampah warna merah dan hijau bertuliskan “DISBUDPAR” yang ditempatkan di pos masuk kawasan wisata, Rabu (02/07/2025).

Tong sampah itu tampak baru, mencolok, dan bersih, seolah menjadi simbol bahwa “penataan telah dimulai”. Namun, realitas di lapangan, pelaku wisata sanggup membuat puluhan tong sampah membersihkan sendiri dan mengatasi sampah sendiri. Toilet juga disediakan pelaku wisata konflik lahan belum terselesaikan, dan infrastruktur pendukung tetap memprihatinkan.

“Kalau ini yang disebut penataan, maka rakyat hanya dijadikan penonton simbol. Tong sampah di pos, tapi kami tetap tak tahu nasib kami,” ungkap salah satu pelaku usaha lokal dengan nada kecewa.

Tak hanya itu, sejumlah pelaku wisata di Parbaba secara tegas menolak menerima tong sampah yang dikirim oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Samosir. Mereka menilai langkah tersebut hanyalah bentuk pencitraan pemerintah di mata publik, tanpa menyentuh akar persoalan sesungguhnya.

“Bukan hanya di Parbaba, pantai-pantai lain juga tidak mau menerima tong sampah itu. Kami anggap ini hanya pencitraan, bukan solusi,” ujar salah satu perwakilan pelaku wisata.

Para pengunjung yang datang ke kawasan Parbaba juga mengeluhkan bahwa retribusi yang mereka bayarkan di pintu masuk tidak sesuai dengan fasilitas yang mereka terima. Kondisi jalan rusak, tempat usaha seadanya, dan pengelolaan kawasan terkesan dibiarkan.

Lebih ironisnya lagi, menurut pelaku wisata, petugas pemerintah hanya hadir saat memungut retribusi di pintu masuk. Setelah itu, tidak pernah ada petugas yang datang berkunjung langsung ke area usaha warga, apalagi berdialog untuk mendengar kebutuhan dan masalah mereka.

Seorang pelaku wisata bermarga Nainggolan, yang menjalankan usahanya di Pantai Sipangkar, mengaku usahanya telah berdiri secara mandiri dan legal.

“Saya sudah punya izin usaha resmi. Ini suratnya,” katanya sambil menunjukkan dokumen tersebut kepada wartawan. Ia mempertanyakan mengapa pemerintah tiba-tiba membatasi usaha warga tanpa memperjelas status hukum lahan dan perizinan yang sebelumnya mereka penuhi sendiri.

RDP Berlangsung Tertutup, Pelaku Wisata Curiga Ada Unsur Politik

Sementara itu, di gedung DPRD Samosir, Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPRD dan Pemkab tetap digelar, namun tanpa melibatkan pelaku wisata yang terdampak langsung. Mereka mengaku sama sekali tidak mendapat undangan atau akses terhadap isi rapat.

Hal ini menimbulkan kecurigaan di kalangan pelaku wisata bahwa proses pengambilan keputusan tidak transparan dan mungkin sarat kepentingan politik.

“Kami justru tidak tahu apa yang dibahas di RDP itu. Tidak ada undangan, tidak ada salinan risalah. Kami menduga ada arah-arah politik yang sedang dimainkan,” ujar seorang pengelola usaha di kawasan Parbaba.

Pelaku usaha mendesak agar semua proses kebijakan yang menyangkut nasib mereka dibuka ke publik dan bukan dilakukan secara tertutup hanya oleh elit pemerintahan.

Simbol Tanpa Substansi?

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada jawaban resmi dari Pemkab Samosir soal mengapa penertiban 30 Juni tidak dilaksanakan, dan bagaimana status hukum tanah di kawasan wisata tersebut akan diproses ke depan.

Jika satu-satunya “aksi nyata” pemerintah hanyalah menempatkan tong sampah di pintu masuk, maka wajar bila publik bertanya: apakah penataan kawasan wisata dilakukan secara menyeluruh, atau hanya sekadar mencitrakan keseriusan ? .

Laporan : sofian candra lase

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed